Manusia A dan Manusia B

20:05

Kemudian hadir sebuah cerita. Dimana seorang yang ini tidaklah lebih dari manusia biasa. Manusia yang lebih dibilang setengah biasa.
Malam yang biasa saja bagi bintang yang kerlipan cahyanya semakin kabur karena tertutup asap, tidaklah begitu bagi seorang ini. Malam yang selalu biasa dirindukan bulan itu pun menjadi malam yang sepertinya asing bagi seorang ini. Malam ketika malam tak lagi malam. Malam ketika tengah malam berupaya menjadi pengganti malam - malam biasa yang sewajarnya malam. Malam tanpa mimpi.
Seorang ini adalah Dia. Dia yang tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan. Dia yang tak tahu ini suatu insomnia, efek kopi, overdosis tidur siang atau karena pikiran yang terlalu kosong karena terlalu banyak pikiran. Kosong adalah isi. Isi adalah Kosong. Setidaknya itu kutipan yang diambil dari Tong San Cong dalam sebuah cerita  Journey to the west. Dia yang sangat bisa tidur dengan cepat dan pergi ke alam bawah sadar dimanapun dan dalam gaya apapun ini terlalu sering tidak bisa tidur. Dia lupa dimana pintu mimpinya.

Tumbuh sewajarnya sebagai seorang anak kecil, itulah apa yang terjadi pada masa kecilya. Segala jenis mainan dia mainkan bersama dengan teman - teman sebaya ataupun yang lebih  duluan lahir sebelum dia. Tapi itu bukanlah suatu masalah, toh dia mampu beradaptasi dengan sendirinya. Pergi ke sekolah dasar dengan mobil pun tidak, malahan suatu keboro-boroan. Dalam praktiknya, hal - hal tersebutlah yang kurang atau perlu menjadi perhatian.
Waktu yang dilaluinya pun sama dengan apa yang orang - orang pada umumnya lalui. Berakhir dipenghujung SD dia harus masuk ke sekolah lanjutan berikutnya. Saat tahun pelajaran berakhir,nasibnya pun sama seperti anak - anak lain yang juga kembali terdampar dalam suatu blok pergedungan yang dinamakan sekolah, tingkat atas. Dan seterusnya seperti yang lainnya hingga orang lain bingung untuk beralih kemana agar dia tidak bisa menyamainya.
Toh dalam prosesnya yang sama, tiap - tiapnya memiliki batas pengekangan yang berbeda. Bukan menghalalkan tindakan yang membangkang. Tapi lebih pada baagaimana memberi pendidikan yang tidak didapatkan di instansi pendidikan yang dibiang formal, kebebasan untuk memilih. Bukan berarti dalam 'pagar keliling' yang formal itu Dia tidak diberikan pilihan, namun pilihan yang ada itu sudah tertebak pasti muaraya bukan pada apa yang sesungguhnya bisa Dia dapatkan, lebih pada apa yang seharusnya Ia dapatkan atas nama 'keformalan'.
Dan manusia diberi akal sendiri dari pada makhluk yang lainnya. Dari itulah akal memilliki caranya sendiri untuk menentukan akan hak untuk memilih, memilih pilihan yang ada dan yang memang seharunya ada.

Dalam penciptaannya kemudian, suatu pengetahuan ditanamkan melalui sistem yang sudah ada dan sudah menjamur di negeri ibu pertiwi ini. Pengetahuan yang mengajaran yang A adalah benar dan yang B tidaklah benar. Lakukanlah yang A maka kau tidak akan bermasalah dengan hal yang mengganggu dalam proses penyampaian pengetahuan. Dan kau sudah tahu konsekuensinya jika memilih untuk melakukan yang B. 
Stressing pengetahuan yang begitu mutlak, bahwa yang terlebih dahulu tahu itulah yang paling benar. "saya sudah banyak makan asam-garam", begitulah biasanya istilah yang umum terlontar. Mungkin harus merasakan pait.
Representasinya akan menghasilkan dua golongan yang berbeda. Mereka yang "iya" dengan segala hal yang 'they who know everything' sampaikan. Mereka yang tidak pernah mendapatkan kesulitan akan hal yang mengganggu penyampaian pengetahuan pada mereka. Dan golongan yang tertunda menerima pengetahuan sehingga mereka harus mencari tahu sendiri. Seringnya mereka menemukan hal yang baru dengan apa yang golongan lain terima, adakalanya berbeda dengan apa yang 'they who know everything' sampaikan. Dan itu kembali menambah sebab-musabab dan alibi 'dia yang llebih dulu tahu' untuk mengurangi porsi pengetahuan untuk mereka.


Golongan A menjadi golongan yang sangat detail dan penghafal jenius yang dapat menyampaikan semuanya seperti yang tertuang dari 'wahyu' seorang 'dia yang lebih dulu tahu'. Dia sangat tahu jika satu ditambah satu akan menghasilkan dua (1+1 = 2). Dan mereka sangat yakin bahwa nol (0) adalah suatu ketidakadaan. Pintar, pandai berucap dan saklek dengan apa yang 'dia yang tahu lebh dulu' sampaikan padanya.
Sementara golongan lain, golongan B mempertanyakan kenapa mereka-golongan A- sampai sebegitunya? Mereka mempunyai pertanyaan yang sangat detail dan kompleks untuk kemudian menjelaskan apa yang baru saja didapat dari pertanyaannya dengan sederhana. Mereka tahu bahwa satu tambah satu sama dengan dua, namun mereka memberi kebebasan jika dari itu akan menghasilkan jawaban lain, mungkin satu, tiga, bahkan nol. Dan dari nol mereka mendapatkan ke-takberhinggaan terkecil hingga ke-takberhinggaan terbesar. Kau bisa saling bertuar pendapat jika memang berbeda.

Semua ini ada merupakan permainan pikiran, sekali lagi karena pikiran!

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images