23 EPISENTRUM : Buku Kedua Adenita

02:26

23 EPISENTRUM 
Surat pengantar penempatan mengantarkan saya untuk kembali merasakan transportasi udara ke Banjarbaru, Kalimantan selatan. Ini merupakan pertama kali menginjakan kaki di Borneo, pulau Kalimantan. Kali aja banyak mantan, atau kali aja lupa mantan jadi bisa nemu yang baru, plesetannya begitu lewat candaan temen - temen saya. Tidak sendiri, saya ditemani seorang wanita satu angkatan diklat dan sama - sama ditempatkan di satu unit kerja. Rina namanya, teman satu kampus yang saya baru kenal saat kegiatan diklat dilaksanakan. Beda jurusan,kan. Dia itu tuh yang punya buku kayak di pic atas. Judulnya 23 Episentrum karya kedua dari Adenita.
Buku itu miliknya Rina, tapi saya yang baca. Dan tiap kali saya baca buku itu selalu ada kalimat - kalimat atau paragraf - paragraf yang menurut saya menarik dan itu saya jadikan beberapa bahan review saya untuk buku tersebut. Beginilah beberapa section yang cukup menarik perhatian saya. Ini hanya berapa bagiannya saja, banyak yang menarik dan overall ini buku yang sangat menarik. Great buat Adenita. Saya jadi tambah pengin buat buku. Karena kebanyakan buku yang pernah saya baca, penulisnya itu juga suka baca buku. So, one of the great writter is coming from a great reader.
 
di Chapter 28 – Episentrum goes to Rotterdam

….. Disentuhnya bundle demi bundle tumpukan uang yang sudah dijalin rapi…1..2..3..4..5..6… Enam bundle uang dalam sebuah balutan kertas kecil bercap Bank Indonesia, nominal itu jelas tertulis Rp 5.000.000,00. Tiga puluh juta! Ya Tuhanku.
Tari semakin berdebar lagi karena baru kali ini ia memegang uang sebanyak itu. Baru kali ini ia bias memandang secara kasat mata beetapa banyaknya utang yang yang dimilikinya untuk memperjuangkan sekolahnya dulu. Tari menggenggam uang itu dengan kedua tangannya. Berpindah dari tangan kiri ke tangan kanan.
Tangannya gemetar memegang uang itu, uang pemberian Awan. Katanya ini uang sedekah. Tanpa sadar, air matanya menetes. Setelah satu per satu temannya yang membebaskan utangnya, kali ini ia menerima uang sedekah untuk pertama kalinya. Tari ingin menjerit…. Ia bingung ekspresi apa yang harus ia berikan. Akhirnya Tari reflex bersujud dan mengucap syukur. Ia merasa belum pantas menerima pertolongan-Nya dengan cara seperti ini. Dalam cermin yang berada di seberangnya, Tari melihat bayangan wajahnya. Ia berjanji, suatu saat harus bias memberi lebih dari ini kepada orang lain. Kali ini tangannya ada di bawah, rasanya nista… tapi ia memang tidak pernah meminta. Kali lain ia bertekad agar tangannya bias terus di atas, memberi tanpa batas..
Chapter 29 – 23 Episentrum


…. “Mungkin ini saatnya, Tar…. Saatnya tangan lo meneruskan kembali apa yang pernah lo dapatkan. Bukan lewat tangan gue, tapi lewat tangan orang pernah menerima langsung. Biarkan tangan lo merasakan memberi langsung juga. Keadaan sulit kadang membuat orang berhenti memberi dan memikirkan orang lain. Tapi lo nggak, lo tetap memberi… lo berhasil membuktikan bahwa uang bukan satu – satunya cara untuk memberi. Dan bahkan, semua yang lo lakukan itu jumlahnya mungkin lebih besar dari uang yang lu pegang saat ini.”


Tari terdiam. Ia menatap amplop coklat itu. Amplop yang berisi sebuah keajaiban baginya.

Saya nanti akan mencoba update tentang review buku ini. Karena bukunya terlalu menarik, jadi saya harus menyisihkan waktu menulis saya untuk baca buku ini. 

You Might Also Like

0 comments

Like us on Facebook

Flickr Images