Sejak pertemuan terakhir itu dengan Nuri. Perjalanan pertama dan juga
perbincangan pertama yang ku buka dengannya, selalu terbayang raut wajah
dengan bola mata yang besar. Bentuk muka yang tidak tirus namun tidak
pula bulat. Pas. Gingsul itu membuatku merindu. Merindu disetiap kali ia
mengucapkan kata. Setiap bukaan tawa yang keluar bersama pajangan gigi
gingsulnya.
Waktu kemudian berlalu. Gambaran wajah itu pun kini mulai terasa memudar. Raut wajah penuh tawa dengan rona keceriaan itu mulai berbeda dari sebelumnya. Aku mulai takut gambaran wajah itu hilang dari pikiran dan bayang setiap kali ku membayang. Aku mulai mencari - cari beberapa gambaran wajah itu yang mungkin terekam sebelumnya. Stalking di beberapa akun media sosialnya juga kulakukan. Berharap, paling tidak raut wajah itu akan tetap tersimpan dalam pikir ini.
Ku lakukan kehidupanku yang cukup monoton seperti biasa. Bangun pagi dimana bagi ayam itu sudah sangat begitu kesiangan. Membenahi beberapa carut - marut ruangan semalam dengan melanjutkan untuk menyeka hasil tidurku semalam. Mulai kubenahi perlengkapan yang hendak ku bawa ke tempat kerja setelah mengganti baju. Mengayuh sepeda warna biru muda selama lima belas menit untuk ke tempat kerja. Waktu tempuhnya bisa menjadi sepuluh menit saja jika ku lewati jalan tikus yang memotong jalan raya. Begitulah seterusnya, diakhiri dengan pelaksanaan solat jumat diakhiri pula dengan pelaksanaan solat jumat.
Dan hari ini berbeda. Ada pesan masuk di hape ku. Kulihat nomor baru yang belum pernah disimpan dengan nama seseorang. Penampakannya begitu jelas, ada pesan masuk. Aku mulai memandanginya nomor itu perlahan dilanjutkan membuka pesannya.
"hai, aku Nuri. Kamu orang yang waktu itu kan?",
Dahulu temanku sempat menawarkan ku untuk dikenalkan dengan beberapa teman perempuannya. Ya paling tidak untuk menambah teman mengobrol katanya. Aku hanya bisa melayangkan tawa seperti biasanya tanpa jawab. Seperti itulah, aku masuk dalam kriteria laki - laki yang tidak punya keberanian dan juga kemampuan untuk memulai perbincangan dengan seorang perempuan, apalagi perempuan yang baru akan dikenalnya.
Malam kembali menjumpai. Begitu senang aku dengan malam. Menikmati setiap detik yang berlalu dalam malam - malam yang kujumpai. Dengan malam itulah aku bisa sedikit mendapatkan kebebasan yang dimiliki oleh setiap orang. Malam yang menjadi medium yang membatasi belenggu kebebasan. Karena dengan malam orang - orang mulai membatasi diri mereka sendiri yang sudah terbelenggu kebebasannya di siang hari. Disaat itulah, saat dimana seseorang dapat membebaskan batasan dirinya. Menikmati beralihnya waktu, beralihnya perjalanan rembulan mengudara mengkilapkan langit gelap itu.
Malam itu aku kembali bertemu dengan teman sepermainan yang sempat menawarkan untuk memperkenalkan temannya. Ada perempuan yang kemudian menghampiriku. Dia langsung saja menebar senyum manis dengan sedikit lekuk lesung pipitnya. Temanku Bams, yang sebelumnya ingin memperkenalkan beberapa temannya seketika pula muncul dan langsung menapuk bahu ku seperti biasa serta langsung duduk menyebelahiku.
"No, Dino, ini temenku", ucapnya sembari duduk di sebelahku.
Aku memandanginya bebera saat kemudian kembali kupalingkan. Kupandang lagi, dan lagi. Senyumnya kembali ia tawarkan. Merekah indah menyejukan pandangan yang mengalihkan. Entah bagaimana aku harus bersikap waktu itu.
"Aku Niluh, salam kenal", ucapnya, masih dengan senyum yang sama.
Kokok ayam mengudara membuyarkan senyum yang indah itu./dp
Waktu kemudian berlalu. Gambaran wajah itu pun kini mulai terasa memudar. Raut wajah penuh tawa dengan rona keceriaan itu mulai berbeda dari sebelumnya. Aku mulai takut gambaran wajah itu hilang dari pikiran dan bayang setiap kali ku membayang. Aku mulai mencari - cari beberapa gambaran wajah itu yang mungkin terekam sebelumnya. Stalking di beberapa akun media sosialnya juga kulakukan. Berharap, paling tidak raut wajah itu akan tetap tersimpan dalam pikir ini.
Ku lakukan kehidupanku yang cukup monoton seperti biasa. Bangun pagi dimana bagi ayam itu sudah sangat begitu kesiangan. Membenahi beberapa carut - marut ruangan semalam dengan melanjutkan untuk menyeka hasil tidurku semalam. Mulai kubenahi perlengkapan yang hendak ku bawa ke tempat kerja setelah mengganti baju. Mengayuh sepeda warna biru muda selama lima belas menit untuk ke tempat kerja. Waktu tempuhnya bisa menjadi sepuluh menit saja jika ku lewati jalan tikus yang memotong jalan raya. Begitulah seterusnya, diakhiri dengan pelaksanaan solat jumat diakhiri pula dengan pelaksanaan solat jumat.
Dan hari ini berbeda. Ada pesan masuk di hape ku. Kulihat nomor baru yang belum pernah disimpan dengan nama seseorang. Penampakannya begitu jelas, ada pesan masuk. Aku mulai memandanginya nomor itu perlahan dilanjutkan membuka pesannya.
"hai, aku Nuri. Kamu orang yang waktu itu kan?",
Dahulu temanku sempat menawarkan ku untuk dikenalkan dengan beberapa teman perempuannya. Ya paling tidak untuk menambah teman mengobrol katanya. Aku hanya bisa melayangkan tawa seperti biasanya tanpa jawab. Seperti itulah, aku masuk dalam kriteria laki - laki yang tidak punya keberanian dan juga kemampuan untuk memulai perbincangan dengan seorang perempuan, apalagi perempuan yang baru akan dikenalnya.
Malam kembali menjumpai. Begitu senang aku dengan malam. Menikmati setiap detik yang berlalu dalam malam - malam yang kujumpai. Dengan malam itulah aku bisa sedikit mendapatkan kebebasan yang dimiliki oleh setiap orang. Malam yang menjadi medium yang membatasi belenggu kebebasan. Karena dengan malam orang - orang mulai membatasi diri mereka sendiri yang sudah terbelenggu kebebasannya di siang hari. Disaat itulah, saat dimana seseorang dapat membebaskan batasan dirinya. Menikmati beralihnya waktu, beralihnya perjalanan rembulan mengudara mengkilapkan langit gelap itu.
Malam itu aku kembali bertemu dengan teman sepermainan yang sempat menawarkan untuk memperkenalkan temannya. Ada perempuan yang kemudian menghampiriku. Dia langsung saja menebar senyum manis dengan sedikit lekuk lesung pipitnya. Temanku Bams, yang sebelumnya ingin memperkenalkan beberapa temannya seketika pula muncul dan langsung menapuk bahu ku seperti biasa serta langsung duduk menyebelahiku.
"No, Dino, ini temenku", ucapnya sembari duduk di sebelahku.
Aku memandanginya bebera saat kemudian kembali kupalingkan. Kupandang lagi, dan lagi. Senyumnya kembali ia tawarkan. Merekah indah menyejukan pandangan yang mengalihkan. Entah bagaimana aku harus bersikap waktu itu.
"Aku Niluh, salam kenal", ucapnya, masih dengan senyum yang sama.
Kokok ayam mengudara membuyarkan senyum yang indah itu./dp