Seragam Putih Merah Untuk Indonesia

10:45









Banyak orang bilang jangan dulu tanya apa yang negara kasih buta kalian, tapi lebih dulu kalian tanya diri kalian sendiri apa yang udah kalian kasih buat negara ini. Tapi,
Aku ini anak Indonesia. Aku dilahirkan di tanah tumpah darah Indonesia. Sejak mulai aku beranjak berkembang dari hanya setitik janin hingga harus menunggu Sembilan bulan sepuluh hari menyusahkan ibu ku sampai sekarang ini menatap tanah air, aku ini anak Indonesia. sewaktu di taman kanak – kana, aku selalu ingin seperti anak _ anak lain yang sudah berseragam putih – merah dengan dasi berkolor yang dikalungkan pada dada mereka dan topi merah yang selalu mereka kenakan untuk menjaga mereka dari teriknya panas matahari. Ada satu hal yang membuatku selalu mengintip mereka dari sisi luar gerbang pagi itu. Senin pagi tepatnya, selalu saja aku harus menyempatkan sejenak untuk sekedar melihat mereka yang tampak gagah dan polos dengan seragam putih – merah yang mereka kenakan itu.
“ kepada sang Merah Putih . hormat grak!!”, perintah si pemimpin.
“ Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku.
Disanalah aku berdiri jadi pandu ibuku.
Indonesia kebangsaanku, bangsa dan tanah airku marilah kita berseru Indonesia bersatu
Hibuplah tanah ku hiduplah negeriku, bangsaku, rakyatku, semuanya.
Bangunlah jiwannya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya.
Indonesia raya merdeka – merdeka , tanah ku negeri ku yang ku cinta
Indonesia raya merdeka – merdeka hiduplah Indonesia Raya
Indonesia raya merdeka – merdeka tanahku negeriku yang kucinta
Indonesia raya merdeka – merdeka, hiduplah Indonesia raya.’
Ingin sekali aku menyanyikan lagu itu. Apa gerangan lagu itu, kenapa selalu saja ada lagu itu disetiap senin pagi di sekolah itu? Kala itu aku benar – benar ingi menjadi salah satu dari mereka. Ingin sekali kukenakan baju putih dengan pasahan celana pendek merah tersebut.
Tak perlu menunggu lama, kurang dari setahun, esok aku adalah kali pertamaku mengenakan seragam yang sangat gagah itu, pasangan seragam atasan putih yang menggambarkan kalau kita yang mengenakan seragam tersebut memiliki pemikiran yang selalu jernih, selalu berpikir positif dan membiasakan untuk berprasangka baik, dilengkapi dengan bawahan merah yang dengan gagah berani selalu mngayomi dan bakalan melindungi dengan berani segala pemikiran jernih dan prasangka baik yang selalu menjadi karakter pribadi kita. Mulai dari sore hari aku sudah sangat tidak sabar ignin mengenakannya. Kupajangi terus seragam itu, namun aku tidak akan memakainya sampai esok hari tiba untuk yang pertama kalinya.
Esok dating, dengan gagah aku melangkahkan kaki yang juga dengan sepatu baru untuk memulai hari pertama ku untuk bersekolah disamping sekolahku yang dulu saat aku di TK, meski tanpa ada uang saku dikantong ini hanya sebuah bungkusan tempat nasi dan botol minum sebagai pelengkapnya. Kala itu hari senin, aku dapat dengan jelas dan dekat di depan mataku sendiri memerhatikan mereka menyanyikan lagu yang membuatku penasaran itu, tak dapat kupercaya, aku sangat ingin tahu lagu itu dan berharap bisa bersama mereka untuk ikut menyanyikan lagu tersebut. Aku benar – benar tak tahu apa – apa. Sementara ada anak perempuan maju di depan barisan anak – anak yang siap mengumandangkan lagu itu, sebelunya ada tiga anak dengan satu murid perempuan di tengah yang  berjalan dengan sangat gagah dan kompak membawa sesuatu yang sepertinya tampak sangat keramat dibawa oleh si anak perempuan yang berada di tengah – tengan dua murid laki – laki yang sangat kekar dan siap melakukan apa saja agar barang yang keramat itu bisa sampai pada dimana tempat yang dituju.
Tak lama, berkelibat, aku terkaget dan terheran, ternyata sesuatu yang sangat dilindungi itu berupa sebuah kain segi empat dengan lebar yang lebih pendek dibandingkan dengan panjangnya. Kain itu memiliki warna yang sama dengan seragam yang aku kenakan, hanya saja sedikit terbalik kupikir. Kain itu ditarik ditiap – tiap ujungnya, kencang dan sangat gagah terpapar sinar mentari pagi yang sangat menggugah semangat. Lagu pun berkumandang dan kait itu pun beranjak naik dengan gagah ke langit. Hingga kain itu terhenti pada tempat yang ditujunya itu seketika itu pun lagu itu berhenti berkumandang. Berbeda dengan kain dan lagu itu yang berhenti berkumandang, aku semaki bertambah heran dan bertanya – Tanya mengapa harus lagu itu dan mengapa juga berbarengan dengan kain itu?.
Tahun keempat aku di bangunan sekolah itu, kini giliranku untuk mengambil peran untuk seperti mereka yang dahulu aku lihat dan saksikan. Hari sabtu setelah sekolah usai murid – murid kelasku dan aku mempersiapkan diri berlatih untuk suatu acara yang sangat membanggakan yang aku nantikan di hari senin esok. Aku berharap dan sangat yakin akan berdiri dibarisan paling depan untuk menyanyikan lagu tersebut, maklumlah karena aku sangat kecil, pendek harus baris paling depan, begitu katanya. Namun, semuanya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Aku tidak berada dalam barisan untuk menyanyikan lagu tersebut. Aku diberi sebuah stofmap merah oleh ibu guruku dan menyuruhku untuk keluar dari barisan dan berjejer hanya dengan seorang yang juga membawa stofmap yang warnanya  sama dengan milikku, merah. Kubuka map itu, dan tertulis ‘PEMBUKAAN’, itu kata yang paling besar yang pertama kali terbaca meski sebelunya ada kalimat yang harusnya aku baca dahulu. Teman disampingku lebih sedikit teksnya, yang tertulis dibagian atasnya itu berbunyi, ‘PANCASILA’. Aku tak menganggap peranku saat itu istimewa, biasa saja menurutku, lagian hanya membaca sebuah teks saja tidak juga harus susah – susah menghafalnya.
Senin pagi pun tiba, aku sangat siap untuk hari itu dan untuk pertama kalinya aku berangkat sagnat awal untuk bersekolah, hanya hari itu. Aku sudah sangat begitu gagah dengan kain putih bersih sebagai atasan dan kain merah membara menopang atasan putihku itu, dengan dasi berkolor yang sudah agak sedikit molor, tapi taka pa, aku tetap gagah dengan topi merah bak payung ini. Aku berdiri dibagian sebelah kanan berdua dengan teman Pancasila ku. Setelah lagu itu menggema dan kain berwarna ganda itu sampai pada akhir perhentiannya kini giliranku untuk mengambil peran di senin pagi ini.
Kutegapkan badan ini dank u busungkan dada. Kuangkat map merah ditangan kiriku mendekati tempat ketiakku dan kuambil satu langkah tegap ke depan lalu kuturunkan kembali map itu. Map merah itu ku buka dengan seraya kuulurkan tanganku tegak ke depan dan ku gerakkan lidah ini. Tak semudah yang pernah terlintas sebelumnya dibenakku. Keringat sangat terasa mengalir di pelipis mata ku, keduannya, kanan dan kiri. Tangan yang awalnya tegap penuh pasti kini mulai bergetar dan semakin tak bisa tertahan detarnya. Kulihat dasi merah berkolor yang sudah molor itu pun ikut bergejolak tepat di dadaku ini. Tugasku pun usai, kututup map merah itu, kembali keselipkan mendekati ketiakku, dan kuambil satu langkah kebelakang kembali ke tempat awal mula ku. Kulihat dasi merah berkolorku masih belum berhenti bergetar mengikuti ritme jatungku.
Esoknya saat kembali kelasku  mendapat giliran untuk kegiatan rutinitas senin pagi itu aku pun meminta untuk bisa bergabung menggemakan lagu keramat tiap senin itu. Aku berada pada barisan paling depan, inilah yang aku inginkan. Aku sudah hafal lagu itu, bait demi bait kuhafalkan untuk esok senin pagi. Lantas esok dating, dan menggemalah lagu nan keramat itu dan asal tahu saja, aku ikut mengambil peran untuk menggemakan lagu itu ke angkasa. Aku sangat, sangat sekali, aku tidak tahu harus mengucapkan kata – kata saat itu, semuanya sangat tak bisa diucapkan. Hanya ,”Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku,…”.
Tidak ada sedikitpun hal yang mengharuskan aku untuk tidak bangga pada negeriku ini. Indonesia tanah airku, Indonesia tumpah darahku. Tidak ada keraguan untuk Indonesia ku ini. Namun kini aku beranjak pada dua decade setelah kelahiranku, dan aku mulai bisa melihat sesuatu dari berbagai hal dan dari berbagai sisi. Begitu juga bagaimana aku memandang, menilai, dan beropini tentang Indonesia ku ini.
Bagaimana Negara ini sekarang terpuruk. Bagaimana Negara ini dipenuhi oleh birokrat – birokrat yang tak tahu diri yang ingin menjajah bangsanya sendiri tempat mereka bisa makan. Bagaimana prestasi dan nama baik negeri ini hanya milik berapa kelompok saja yang bisa dibeli dengan apapun untuk kepentingan kelompok mereka. Bagaimana petinggi – petinggi kita saling berbondong – bonding menghimpun masa dan mengorbitkan diri mereka untuk tetap tampak paling benar bagi sekelompok orang. Bagaimana bisa Indonesia seperti itu?
Ini Indonesiaku, perbuatlah sesuka hatimu tapi bukan untukmu, keluargamu, kelompokmu, golonganmu, partaimu, tapi untuk Indonesia.

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images