Karena hujan dan karena dosen lama belum datang ke kampus, kegiatan belajar mengajar aku isi dengan pengambilan pembelajaran berupa nasihat dari kehidupan. Aku nonton film yang ada di laptop. Belajar dari kehidupan dalam film. Filmnya berjudul Life is Beautifull, film yang didirektori oleh Roberto Benigni, Cerita dari Roberto Benigni dan juga diperankan oleh Roberto Benigni dan Roberto Benigni nonton juga kayaknya.
Film ini bercerita bagaimana seorang ayah yang dengan apapun caranya, dengan humor, bermain sandiwara dan bermain perang - perangan menjaga anaknya seolah kehidupannya seperti biasa. Kondisi perang adalah situasi yang tidak diharapkan oleh siapapun, selain menghilangkan segalanya juga akan meninggalkan luka yang dalam bagi warganya dan dampak psikologis akan dibawa hingga kehidupan setelah perang. Dan hingga perang berakhir, Giosue, anak dari Guido menganggap permainannya telah berakhir dengan kemenangannya, bukan perang meski ayahnya, Guido harus menjadi korban pada permainan itu.
Aku akhirnya pulang karena sudah waktunya pulang, hujan juga sudah tinggal gerimisnya dan dosen berhalangan untuk mengajar, hanya menitipkan tugas pada ketua kelas melalui sms. Gerimis mengundang. Memanggil aku untuk berlari kemudian berhenti dan berlari lagi. Berhenti dengan minimal dapat tempat berteduh.
Halte bis sudah kelihatan cukup dekat di depan, jadi aku mulai bergegas untuk kesana. Kali ini aku berlari, bukan karena gerimis tapi aku berlari agar cepat sampai di halte. Dan aku juga berhenti, kali ini bukan karena sudah dapat tempat berteduh bukan, aku harus mengambil nafas agar hidup. Jalan ke halte cukup lapang dan tidak ada kios-kios pertokoan, hanya beberapa pohon yang tidak cukup rimbun pohonnya. Dan aku sampai di halte.
Aku yakin itu halte bus, karena banyak orang yang menunggu di sana. Mereka menunggu bis atau bisa juga menunggu gerimis reda atau bisa juga keduanya dan juga menunggu aku. Tapi ada tulisan halte, jadi aku kembali yakin kalau itu adalah halte, bukan stasiun. Satu lagi yang membuat ku kembali yakin, baru saja ada bis yang berhenti di sini. Jadi, ini pasti halte bis dan bisnya pun berjalan kembali. Aku masih di halte, lupa masuk bis.
Orang - orang yang tadi berjubel di halte menunggu ku kini sudah tiada, tapi masih hidup. Mereka sedang di bis, bis yang baru saja berhenti di depan halte dan kembali berjalan sebelum aku masuk ke dalam bis. Dan bis itu tidak ada di sini, sungguh aku tidak berbohong. Aku tidak sendiri. Ada seseorang di sudut kanan halte, dia sedang menunggu bis, aku yakin itu. Ternyata itu kamu. Ya kamu.
Ada seseorang yang di setiap hujannya akan memberikan senyum indahnya meski sedikit pada horizon, kemudian mendongakkan pandangnya kepada semesta. Lalu terpejam, sepertinya kamu menarik nafas pelan dan begitu dalam. Menghirup aroma bebaunan tanah kering gersang yang baru saja terguyur hujan. Dan kembali, tatapan mu memandang jauh, ke ujung sana hingga cita-citamu nampak jelas. Beserta doa terpanjat pada setiap aliran air dari setiap tetes - tetes hujan dari Tuhan.
"Hei malaikat, tolong sampaikan pujianku ini pada-Nya", aku bisa lihat keluarnya awan dari kepalamu seperti yang ada di film - film kartun.
Aku sudah pernah berjumpa denganmu. Beberapa kali, minimal sekali pernah lah. Suasananya hampir sama, kamu bersama hujan. Meski kali ini tempatnya hanya di teras depan, di teras depan halte bis maksudnya. Dan sebelumnya juga di teras depan, bersama hujan juga. Tapi hanya sebentar. Aku yakin kali ini akan lama, sudah sore dan di jam - jam ini biasanya angkutan umum, bis yang kumaksud frekuensinya cukup jarang.
Aku tidak mendekatinya, karena aku memang sudah dekat semenjak bis pertama datang yang membawa ibu - ibu yang sempat berjubel menghalangi pandangan ku, dan beruntungnya aku tidak kebagian bis tadi. Meski sebelumnya sedikit terharu karena aku ditinggalkan oleh bis. Tapi ternya semua ada hikmahnya, ini dia hikmahnya. Ada kamu di sini, dekat, tapi kamu memandang ke arah yang sama dengan ku.
Aku tidak mengajakmu membuat suatu perbincangan, karena memang pertemuan sebelumnya juga begitu. Aku dan kamu menikmati semesta, hening tak ada sepatah dan sebongkah kata yang merambat melalui udara. Aku bisa ngomong kok, tidak bisu. Hanya saja tiap kali melihatmu di sana dan sekarang di sini, dekat, lidahku mengeras. Kaku.
Kamu sudah cukup lama berdiam diri, tertegun tak tak bergerak. Kukira kamu tertidur dan itu peluang sehingga aku bisa tetap memandang. Aku terkejut ketika kamu mulai berhenti dari diam. Kamu nampak mulai menggerakan tubuhmu untuk kemudian berbalik memandang berlawan dengan arah pandangku. Entah kenapa aku jadi panik, gugup, lidah jadi kaku-lentur-kaku-lentur dan tetap kaku. Akupun berbalik badan, menarik nafas panjang dengan pelan dan berusaha untuk terlihat normal.
Kini gantian aku yang cukup lama membatu. Aku tak tahu pasti apakah kamu masih di sana, apakah kamu masih menghadapkan badanmu ke arahku. Aku tak tahu. Yang aku lihat beberapa tetes hujan yang kemudian bertambah banyak. Kakiku kesemutan dan tetes hujan tadi tertiup angin yang berhembus ke arahku. Aku mencoba untuk tetap tenang dan seperti biasa saja, tetap normal dan basah. Semutnya semakin bertambah banyak menjalar ke atas dan akan basah kuyup jika terus menghadap arah angin. Terpaksa aku sedikit mundur dan membalikan badan.
Dan kamu sudah tiada, tapi masih hidup ya, yang kumaksud sudah tak ada dihadapanku. Aku menyesal, lantas desah seketika keluar.
"aihhh.....", desahku demikian. Aku tak sempat lagi untuk mengucapkan desah yang lebih menyedihkan atau pun lebih menawan dari itu.
"Mas, nggak masuk aja ke dalam, anginnya hujannya kena angin", ajakan yang terdengar seperti bidadari di tivi-tivi yang tidak bisa kembali karena selendangnya terhanyut oleh arus sungai, padahal tiket pulang ada di selendang itu. Itu suara kamu.
Aku kaget, sedikit malu, lega, senang, bahagia juga dan juga kaget lagi. Sudahlah, kalian tidak harus tahu bagaimana aku saat itu.
"iiii,iyy, iyaaa", seperti biasa kukembangkan senyuman, yang sepertinya terlalu lebar.
Film ini bercerita bagaimana seorang ayah yang dengan apapun caranya, dengan humor, bermain sandiwara dan bermain perang - perangan menjaga anaknya seolah kehidupannya seperti biasa. Kondisi perang adalah situasi yang tidak diharapkan oleh siapapun, selain menghilangkan segalanya juga akan meninggalkan luka yang dalam bagi warganya dan dampak psikologis akan dibawa hingga kehidupan setelah perang. Dan hingga perang berakhir, Giosue, anak dari Guido menganggap permainannya telah berakhir dengan kemenangannya, bukan perang meski ayahnya, Guido harus menjadi korban pada permainan itu.
Aku akhirnya pulang karena sudah waktunya pulang, hujan juga sudah tinggal gerimisnya dan dosen berhalangan untuk mengajar, hanya menitipkan tugas pada ketua kelas melalui sms. Gerimis mengundang. Memanggil aku untuk berlari kemudian berhenti dan berlari lagi. Berhenti dengan minimal dapat tempat berteduh.
Halte bis sudah kelihatan cukup dekat di depan, jadi aku mulai bergegas untuk kesana. Kali ini aku berlari, bukan karena gerimis tapi aku berlari agar cepat sampai di halte. Dan aku juga berhenti, kali ini bukan karena sudah dapat tempat berteduh bukan, aku harus mengambil nafas agar hidup. Jalan ke halte cukup lapang dan tidak ada kios-kios pertokoan, hanya beberapa pohon yang tidak cukup rimbun pohonnya. Dan aku sampai di halte.
Aku yakin itu halte bus, karena banyak orang yang menunggu di sana. Mereka menunggu bis atau bisa juga menunggu gerimis reda atau bisa juga keduanya dan juga menunggu aku. Tapi ada tulisan halte, jadi aku kembali yakin kalau itu adalah halte, bukan stasiun. Satu lagi yang membuat ku kembali yakin, baru saja ada bis yang berhenti di sini. Jadi, ini pasti halte bis dan bisnya pun berjalan kembali. Aku masih di halte, lupa masuk bis.
Orang - orang yang tadi berjubel di halte menunggu ku kini sudah tiada, tapi masih hidup. Mereka sedang di bis, bis yang baru saja berhenti di depan halte dan kembali berjalan sebelum aku masuk ke dalam bis. Dan bis itu tidak ada di sini, sungguh aku tidak berbohong. Aku tidak sendiri. Ada seseorang di sudut kanan halte, dia sedang menunggu bis, aku yakin itu. Ternyata itu kamu. Ya kamu.
Ada seseorang yang di setiap hujannya akan memberikan senyum indahnya meski sedikit pada horizon, kemudian mendongakkan pandangnya kepada semesta. Lalu terpejam, sepertinya kamu menarik nafas pelan dan begitu dalam. Menghirup aroma bebaunan tanah kering gersang yang baru saja terguyur hujan. Dan kembali, tatapan mu memandang jauh, ke ujung sana hingga cita-citamu nampak jelas. Beserta doa terpanjat pada setiap aliran air dari setiap tetes - tetes hujan dari Tuhan.
"Hei malaikat, tolong sampaikan pujianku ini pada-Nya", aku bisa lihat keluarnya awan dari kepalamu seperti yang ada di film - film kartun.
Aku sudah pernah berjumpa denganmu. Beberapa kali, minimal sekali pernah lah. Suasananya hampir sama, kamu bersama hujan. Meski kali ini tempatnya hanya di teras depan, di teras depan halte bis maksudnya. Dan sebelumnya juga di teras depan, bersama hujan juga. Tapi hanya sebentar. Aku yakin kali ini akan lama, sudah sore dan di jam - jam ini biasanya angkutan umum, bis yang kumaksud frekuensinya cukup jarang.
Aku tidak mendekatinya, karena aku memang sudah dekat semenjak bis pertama datang yang membawa ibu - ibu yang sempat berjubel menghalangi pandangan ku, dan beruntungnya aku tidak kebagian bis tadi. Meski sebelumnya sedikit terharu karena aku ditinggalkan oleh bis. Tapi ternya semua ada hikmahnya, ini dia hikmahnya. Ada kamu di sini, dekat, tapi kamu memandang ke arah yang sama dengan ku.
Aku tidak mengajakmu membuat suatu perbincangan, karena memang pertemuan sebelumnya juga begitu. Aku dan kamu menikmati semesta, hening tak ada sepatah dan sebongkah kata yang merambat melalui udara. Aku bisa ngomong kok, tidak bisu. Hanya saja tiap kali melihatmu di sana dan sekarang di sini, dekat, lidahku mengeras. Kaku.
Kamu sudah cukup lama berdiam diri, tertegun tak tak bergerak. Kukira kamu tertidur dan itu peluang sehingga aku bisa tetap memandang. Aku terkejut ketika kamu mulai berhenti dari diam. Kamu nampak mulai menggerakan tubuhmu untuk kemudian berbalik memandang berlawan dengan arah pandangku. Entah kenapa aku jadi panik, gugup, lidah jadi kaku-lentur-kaku-lentur dan tetap kaku. Akupun berbalik badan, menarik nafas panjang dengan pelan dan berusaha untuk terlihat normal.
Kini gantian aku yang cukup lama membatu. Aku tak tahu pasti apakah kamu masih di sana, apakah kamu masih menghadapkan badanmu ke arahku. Aku tak tahu. Yang aku lihat beberapa tetes hujan yang kemudian bertambah banyak. Kakiku kesemutan dan tetes hujan tadi tertiup angin yang berhembus ke arahku. Aku mencoba untuk tetap tenang dan seperti biasa saja, tetap normal dan basah. Semutnya semakin bertambah banyak menjalar ke atas dan akan basah kuyup jika terus menghadap arah angin. Terpaksa aku sedikit mundur dan membalikan badan.
Dan kamu sudah tiada, tapi masih hidup ya, yang kumaksud sudah tak ada dihadapanku. Aku menyesal, lantas desah seketika keluar.
"aihhh.....", desahku demikian. Aku tak sempat lagi untuk mengucapkan desah yang lebih menyedihkan atau pun lebih menawan dari itu.
"Mas, nggak masuk aja ke dalam, anginnya hujannya kena angin", ajakan yang terdengar seperti bidadari di tivi-tivi yang tidak bisa kembali karena selendangnya terhanyut oleh arus sungai, padahal tiket pulang ada di selendang itu. Itu suara kamu.
Aku kaget, sedikit malu, lega, senang, bahagia juga dan juga kaget lagi. Sudahlah, kalian tidak harus tahu bagaimana aku saat itu.
"iiii,iyy, iyaaa", seperti biasa kukembangkan senyuman, yang sepertinya terlalu lebar.